Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sedang menjajaki cara untuk mengurangi ketergantungan negara mereka pada dolar AS dan mempromosikan penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian perdagangan.
Ada apa dengan dolar AS dan mengapa negara-negara di ASEAN mulai mencari opsi penggunaan mata uang lain dalam penyelesaian perdagangan?
Simak informasi selengkapnya seperti dilansir laman The Bit Times berikut ini.
Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral ASEAN baru saja mengadakan pertemuan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN pada 30-31 Maret di Bali, Indonesia.
Salah satu topik yang mereka diskusikan adalah mengurangi ketergantungan pada mata uang barat, seperti dolar AS.
ASEAN merupakan sebuah asosiasi yang terdiri dari beberapa negara seperti Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari 6 badan internasional seperti Asian Development Bank (ADB), ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO), International Monetary Fund (IMF), Financial Supervisory Board (FSB), Bank for International Settlement (BIS), dan Bank Dunia.
Baca Juga: Blockchain Bakal Jadi Alat Pembayaran di Tahun 2023? Ini Kata CEO Sberbank Rusia!
Di akhir pertemuan yang berlangsung selama 2 hari tersebut, para menteri keuangan ASEAN dan gubernur bank sentral mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan bahwa mereka sepakat untuk memperkuat ketahanan keuangan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai visi tersebut adalah melalui penggunaan mata uang lokal untuk mendukung perdagangan dan investasi lintas batas di kawasan ASEAN.
Strategi yang dibahas para kepala keuangan ASEAN untuk beralih dari ketergantungan dolar AS adalah penerapan sistem Local Currency Transaction (LCT).
Sistem ini merupakan perpanjangan dari sistem penyelesaian pembayaran sebelumnya di antara negara-negara anggota ASEAN yang memungkinkan penyelesaian pembayaran dalam mata uang lokal.
Presiden Indonesia Joko Widodo baru-baru ini mendesak pemerintah daerah untuk mulai menggunakan kartu kredit yang diterbitkan oleh bank lokal dan secara bertahap berhenti menggunakan sistem pembayaran luar negeri.
Ia menjelaskan, perubahan ini diperlukan untuk melindungi Indonesia dari gangguan geopolitik, dengan mencontohkan sanksi yang dijatuhkan kepada sektor keuangan Rusia akibat konflik di Ukraina.
Baca Juga: Rusia Menyetujui Penggunaan Crypto untuk Pembayaran Lintas Batas
Menurut beliay, menjauh dari sistem pembayaran barat diperlukan untuk melindungi transaksi keuangan dari kemungkinan dampak geopolitik. Joko Widodo kemudian mengatakan:
āBerhati-hatilah. Kita harus ingat sanksi yang dijatuhkan AS terhadap Rusiaā.
Presiden RI mengingatkan bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia telah mengungkap kerentanan negara-negara yang mengandalkan sistem pembayaran luar negeri.
Ia menekankan perlunya Indonesia mempersiapkan kemungkinan menghadapi sanksi serupa di masa mendatang.
Presiden juga menyatakan bahwa menggunakan sistem pembayaran lokal akan membantu melindungi ekonomi Indonesia dari guncangan eksternal sekaligus mendukung ekonomi domestik dengan mempromosikan bank dan bisnis lokal.
Berdasarkan Bitcoinist (5/3/23), sebuah laporan terbaru mengenai adopsi Bitcoin di antara para pedagang diperkirakan akan meningkat 50% dalam 3 tahun ke depan, atau di tahun 2025.
Hasil ini didapat dari survei yang dilakukan oleh Ripple dan Faster Payment Council, yang telah melibatkan 300 pemimpin pembayaran di 45 negara.
Penasaran seperti apa hasil lengkap survei-nya? Simak informasi selengkapnya mengenai 97% Perusahaan Percaya Pembayaran Crypto Akan Berperan Penting di Tahun 2025 di sini.
*Disclaimer:
Konten ini bertujuan memperkaya informasi pembaca. Selalu lakukan riset mandiri dan gunakan uang dingin sebelum berinvestasi. Segala aktivitas jual beli dan investasi aset crypto menjadi tanggung jawab pembaca.
Referensi: